Oleh: Naufal Rafi Rahmatullah
“Apa buktinya? Apa!? Selama ini kamu hanya menghabiskan waktu untuk sesuatu yang belum pasti bagi kamu. Seharusnya kamu sudah melangit dengan berbagai prestasi yang gemilang, tetapi kamu justru melewatkannya. Kamu terlalu sibuk dengan karya-karyamu yang tidak memberi manfaat sedikitpun!”
Hampir setahun sudah aku tidak mendapat kabar apapun dari sebuah penerbit. Sudahlah, jangankan penerbit. Bahkan tulisanku belum ada satupun yang nongol di media masa. Yang ada malah kesimpulan bahwa, tulisanku tak layak muat.
“Mau jadi apa kamu!?”
Lagi-lagi aku tidak bisa menjawab pertanyaan ini.
“Jadi penulis? Seperti Habiburrahman El Shirazi dan Andrea Hirata yang sering kamu gembor-gemborkan keahliannya itu. Mereka hanya satu diatara seribu Fikri. Satu diantara seribu.”
“Tetapi Fikri ingin menjadi satu di antara seribu Pak.”
“Kamu ini kok senangnya nggak berpijak pada realitas. Kamu adalah mahasiswa terbaik Fakultas Kedokteran dari universitas ternama di negeri ini. Status dan impian kamu sudah jelas. Tetapi kamu justru menurunkan predikat kamu dengan sesuatu yang kamu sendiri tidak mempunyai bakat dibidang itu.”
“Bukan bakat Pak. Hanya perlu kerja keras.”
“Apa buktinya?”
Lagi-lagi aku terdiam dengan pertanyaan seperti ini.
“Disiplin ilmu kamu bukan disiplin bahasa Fikri. Seharusnya kamu sadar itu.”
Aku menghela nafas. Awalnya memang sederhana sekali. Waktu itu, Andi, temanku memberikan hadiah novel pada ulang tahunku yang ke-18. Aku memang tidak tertarik atau lebih tepatnya tidak suka dengan buku sejenis novel atau karya fiksi lainnya. Aku lebih suka buku-buku non fiksi yang langsung member fakta. Tetapi melihat novel itu terus terpajang pada rak bukuku benar-benar membuatku penasaran. Aku iseng membacanya dan, masya Allah! Aku tiada bisa menahan air mataku. Aku tersentuh. Novel itu membuatku sadar akan segalanya, hingga sebuah ghiroh terbetik dalam jiwaku. Aku pasti bisa membuat karya semacam itu. Pasti bisa.
Tidak tanggung-tanggung. Aku segera memborong buku-buku bagaimana cara mengarang, membeli berbagai novel dengan berbagai genre, dan bergabung dengan komunitas penulis ternama. Aku benar-benar tersemangati. Aku berlatih dan berlatih hingga sebuah ide menuntunku untuk membuat novel. Memang gila mengingat belum ada satupun karyaku di media masa. Tetapi aku yakin, kelak, novel itu akan menginspirasi jutaan manusia.
“Fikri menemukan kedamaian di saat menulis Pak. Kedamaian utuk saling berbagi. Kedamaian untuk saling mengungkapkan rasa. Kedamaian untuk memperkaya jiwa. Kedamaian untuk…”
“Cukup!” Bapak menutup laptopnya, memasukkan ke dalam tas kemudian merapikan dasinya. Mungkin Bapak sudah cukup telat karena perdebatan ini.
“Kedamaianmu tidak menghasilkan apa-apa Fikri. Sadarlah. Mungkin memang sebaiknya Bapak menyingkirkan segala yang berkaitan dengan pikiran kolotmu itu agar kamu tidak terhipnotis seperti ini.”
“Fikri nggak terhipnotis Pak!”
“Mengarang itu belajar berbohong Fikri. Kamu mau jadi pembohong. Penipu!”
Aku tertunduk lemas, terdiam dan terpaku. Sakit, sangat sakit memang. Tidak terasa, butiran bening sebesar jagung akhirnya mengalir diujung mata.
* * *
“Mengarang itu bukan pembohong Fikri. Memang itu karya Fiksi dan semua orang tahu itu tidak nyata, rekaan atau buataan. Dan mereka tidak merasa dibohongi. Bahkan justru dapat meningkatkan kejiwaan mereka. Kamu tahu? Kita orang islam. Al-Qur’an diturunkan dengan keindahan sastra yang maha dahsyat yang tidak ada satu makhluk pun dapat menandinginya. Jika dibacakan, keindahannya akan melekat pada orang yang beriman hingga imannya meningkat beripat-lipat. Sedangkan kita menulis bertujuan untuk meningkatkan kecintaan manusia terhadap Al-Qur’an dan mengagungkan Sang Kholiq betapa besar keagungannya.” Mas Farhan, mantan ketua FLP Djogjakarta itu memang selalu bisa memompa kembali semangatku.
“Tapi bagaimana saya menyadarkan Bapak Mas. Saya hanya ingin mendapat pengakuan dan dukungan. Itu saja.”
“Mungkin memang sebaiknya kamu jangan melawan. Tidak baik melawan orang tua. Dosa besar hukumnya. Seharusnya kamu dapat menyeimbangkan tugas pokok kamu sebagai mahasiswa dan menulis. Turutilah keinginan orang tuamu selama itu baik bagi kamu. Kesuksesanmu ada pada keridhoan orang tuamu. Insya Allah, sejalan dengan waktu Allah akan memberikan jalannya.”
Aku mengangguk.
“Terkadang saya putus asa. Tulisan-tulisan saya bahkan novel saya belum juga direspon. Apa memang saya nggak bakat ya Mas?”
“Untuk novel kamu, sebaiknya kamu ambil, perbaiki, dan tawarkan ke penerbit lain. Aku salut dengan semangat kamu. Sudah berapa lama kamu suka nulis Fik?”
“Sudah tiga tahun Mas. Kira-kira sudah seratus lima puluhan cerpen yang saya buat dan belum ada satupun yang dimuat.”
“Subhanallah! Belum ada yang dimuat?”
“Belum Mas.”
“Memang ada yang harus dibayar untuk kesuksesan yang besar Fikri. Karim asy-Syadzili, dalam bukunya Al Afkar Ash Shagiirah Lil Hayat Al Kabiirah menulis, nasib atau keberuntungan jarang sekali mendatangi orang-orang yang malas dan miskin keahlian. Akan tetapi, ia akan menghampiri orang yang giat bekerja dan orang yang tidak mengenal lelah.” Mas Farhan tersenyum. Aku tersanjung.
“Oya, bulan ini ada lomba nulis cerpen di Annida. Ikutlah. Semoga bisa membuktikan kamu ada. Kamu bisa.”
“Amin. Semoga Mas.”
* * *
Empat bulan sudah sejak aku mengikuti saran Mas Farhan. Aku membuat cerpen itu sungguh-sungguh. Berkali-kali Bapak, Ibu, adik, si Mbah, Pak De, dan Bude menegurku melihat aktifitasku yang menurut mereka tidak wajar. Akhirnya aku mengalah. Aku mengerjakannya sembunyi-sembunyi yaitu pada malam hari. Tetapi apa nyana, paginya aku sering terlambat kuliah dan memancing kemarahan Bapak. Tetapi alhamdulillah, akhirnya aku dapat mengirimkannya sebelum batas waktu yang ditentukan.
Hari ini adalah hari yang sangat menegangkan bagiku. Aku akan melihat pengumuman lombanya. Maka setelah jam kuliah selesai, aku segera mencari tempat yang nyaman. Ku buka laptop dan ku masukan modemnya. Sambil menunggu, tiba-tiba Andre dan Rudi menghampiriku.
“Aku sudah melihat pengumuman lombanya Fikri. Kamu ini mengejar sesuatu yang tidak dapat kamu kejar. Bahkan Allah sudah memperlihatkan bukti yang nyata berkali-kali. Tetapi kamu masih tetap saja bersikukuh.”
Dengan gerakan slow motion aku mengklik pengumuman itu sambil berusaha membuktikan apa yang dikatakan Andre itu salah. Tapi sayang, aku langsung tertunduk lemas. Ternyata benar.
“Iya Fik. Kamu ini kenapa tho? Sudah jelas-jelas kamu akan menjadi dokter hebat dari seorang mahasiswa cerdas yang nilainya selalu mempesona. E malah mencari sesuatu yang abstrak yang sekarang justru menurunkan prestasi kamu. Sudah jatuh, ketimpa tangga lagi.” Timpal Rudi.
Tidak! Sekali lagi tidak. Aku tidak boleh kalah. Allah tidak tuli. Allah pasti mendengar segala keluh kesahku. Atau mungkin sebenarnya Allah telah mengabulkan segala pintaku, tetapi tertahan karena Allah ingin melihat hambanya bersusah payah dengan uraian air mata do’a. Kalau saja Allah memberikannya sekarang, bisa jadi aku tidak akan berdo’a untuk yang kedua kalinya. Aku merasa cukup dengan usahaku, dan mungkin hanya berakhir dengan kalimat syukur.
Tetapi tidak bagi Bapak. Ia malah semakin memojokkanku.
“Piye? Puas? Apa yang kamu dapat? Menang atau kalah?”
Aku tidak menjawab.
“Jawab Fikri…” Ulang Bapak mempertegas suaranya.
“Ka kalah Pak.”
Bapak tersenyum.
“Apa yang menurut kamu baik bisa jadi buruk bagi Allah. Dan apa yang menurut Allah baik bagimu, bisa jadi buruk menurutmu. Sudahlah, sebentar lagi kamu jadi sarjana. Bapak yakin kamu dapat mengejar materi-materi yang tertinggal. Kamu cukup cerdas. Bapak mau menyekolahkan kamu ke Amerika setelah kamu lulus. Kamu harus bersiap-siap ya!”
Aku kembali terpaku. Apa memang ini jalan takdirku?
* * *
Besoknya, sepulang kuliah aku dibuat terkejut. Surat kebahagiaan yang ku pegang tiba-tiba terlepas. Dadaku seperti dihimpit. Jantungku seperti tiba-tiba terlepas. Buku-buku, novel-novel, berkas-berkas, dan berbagai coretan ideku tiba-tiba menghilang dari pandanganku. Aku terpana oleh suasana baru kamarku. Reflek aku segera menghidupkan komputer dan aku tak kuasa menahan emosiku. Tetapi aku buru-buru menghela nafas, berusaha menjernihkan pikiran.
“Bapak? Bapak tidak mungkin kan itu..” Aku berusaha bertanya selugu mungkin.
“Sebaiknya bapak menyingkirkan semuanya Fikri.”
Aku kembali ke kamar mengambil surat yang terjatuh tadi. Pagi tadi, beberapa menit setelah Bapak pergi, tukang pos datang memberikan surat yang aku sempat tidak percaya dengannya. Hatiku mencelos hingga langit ketujuh. Waktu itu, setelah mendapat saran dari Mas Farhan, aku segera memperbaiki novelku dan mengirimkannya ke penerbit lain. Dan sekarang semuanya jadi kenyataan. Novelku diterbitkan.
Seharusnya Bapak terkejut atau apa setelah membaca surat kontrak kerjasama itu, tetapi malah justru tidak ada ekspresi.
“Novel kamu tidak akan dapat memenuhi kehidupan kamu Fikri.”
“Tapi Bapak tidak harus menyingkirkan buku-buku Fikri kan?”
“Justru itu akan mengganggu belajarmu.”
“Sampai harus men-delete dokumen-dokumen Fikri dikomputer.”
“Iya.”
“Fikri sudah berhasil menerbitkan karya Fikri. Tetapi kenapa Bapak tidak mendukung Fikri? Malah justru dengan menulis Fikri akan bahnyak membaca.” “Kamu tidak akan fokus.”
“Malah justru Fikri akan fokus Pak. Fikri akan lebih mencintai ilmu. Fikri akan lebih giat belajar. Fikri akan…”
“Cukup Fikri! Cukup. Bapak lihat kamu sudah hampir gila dengan tingkah lakumu. Jarang tidur, jarang makan, terlambat kuliah, di depan komputer terus, tanpa henti, tanpa lelah. Mau diwaba kemana hidup kamu kalu hanya dengan novelmu yang mungkin tidak akan berbuat banyak untukmu!”
Bapak mengeluarkan sesuatu dari saku celananya.
“Sekarang ganti nomor kamu.”
“Nomor hp Pak!?”
“Iya.”
Aku menghela nafas. Ada perih dalam jiwa. Berat, sangat berat. Memang tidak mudah tiga tahun perjuangan kerasku hanya berakhir disini. Berakhir dengan amarah orang tua. Tak terasa air mataku meleleh juga. Dalam hati aku beristighfar berkali-kali. Aku berusaha melapangkan hati selapang-lapangnya dan berdoa semoga Allah memberi petunjuk kepadaku, kepada Bapak, dan seluruh keluargaku. Aku serahkan segalanya padamu ya Allah, Tuhan yang maha pengasih lagi maha penyayang.
* * *
Mungkin memang benar apa kata Bapak. Mungkin memang benar apa kata Andre dan teman-temanku. Mungkin memang benar menulis bukanlah jalan takdirku. Sejak novelku diterbitkan dan aku diwisuda sebagai mahasiswa terbaik Fakultas Kedokteran ini, aku benar-benar menutup duniaku. Aku menghapus segala memori yang berkaitan dengan menulis. Aku menghapus diri dari dunia bahwa seorang penulis bernama Fikri pernah ada. Biarlah novel perdanaku menjadi tulisan terakhirku.
Hari ini adalah hari kebahagiaan keluarga. Menit-menit dimana aku telah menjadi seorang sarjana. Seharusnya aku bangga lulus sebagai mahasiswa terbaik, akan sekolah diluar negeri pula. Tetapi entah kenapa, ada yang berat dihati. Sudahlah, paling tidak aku telah menyenangkan ke dua orang tuaku. Aku telah membuat ke dua orang tuaku ridha kepadaku. Bukankah itu semua cukup untuk bekal kesuksesanku?
Aku dielu-elukan. Semua keluargaku berkumpul disini.
“Anak Ibu pintar!” Ibu tersenyum kemudian memelukku. “Anakku jadi dokter.”
“Hmm, Dek Nila nggak boleh kalah nih! Dek Nila harus nglebihi Kak Fikri!” Adikku yang masih SMA itu tertawa begitu manis.
“Mbah kakung bangga sama kamu Nak. Kamu hebat!”
“Iya Fik. Kamu hebat, pintar, terkenal lagi.” Pak De dan Bu De ikut berkomentar.
Aku hanya tersenyum. Setelah lulus sebagai mahasiswa terbaik, namaku memang langsung melejit.
“Kamu adalah kebanggaan Bapak, Fikri. Kebanggaan semua. Belajarlah sungguh-sungguh dinegeri orang nanti. Serap ilmunya dan beri manfaat kepada semua orang.” Bapak melepas pelukannya menatapku bangga. “Eh iya! Rafi, hadiahnya mana? Ayo cepat, berikan. Kasihan Mas Fikri sudah nunggu dari dulu.”
Rafi adalah adikku yang baru lulus SMP.
“Ini Mas. Hadiah special dari kita. Super special untuk Mas Fikri!”
Awalnya memang tidak ada ekspresi, tetapi setelah dipaksa membuka kadonya, subhanallah! Aku tidak percaya. Bukankah ini…
“Iya Mas. Mas Fikri hebat! Baru satu tahun sudah cetakan ke lima belas. Itu Mas, lihat. Best seller lagi. Mau di filmin lho Mas. Ini ada tulisannya.”
Aku benar-benar merasa aneh. Ini pasti sandiwara belaka. Aku yakin itu. Mana mungkin tulisanku yang tidak pernah dimuat di media masa, bahkan hanya baru menerbitkan satu novel langsung mendapatkan keistimewaan ini. Tidak mungkin best seller. Lucu, benar-benar lucu. Ini pasti sandiwara. Aku yakin itu. Tetapi…
“Maafkan Bapak Fikri. Novelmu sangat menginspirasi bahkan sangat membangun jiwa masyarakat Indonesia. Awalnya Bapak memang tidak percaya, tetapi penerbit terus mendesak Bapak. Akhirnya Bapak luluh. Namun Bapak tidak ingin kabar ini mengganggu belajarmu, dan karena Bapak yang memegang komunikasi, Bapak mem-block penerbit bahkan mendia masa untuk mewawancarai kamu. Sekali lagi Bapak minta maaf ya. Bapak tidak pernah mendukung usaha kamu untuk menulis.” Bapak diam sejenak kemudian memelukku. “Sebenarnya Bapak tidak suka kamu jadi penulis. Bapak ingin kamu jadi dokter. Itu saja. Tetapi mungkin sekarang Allah berkehendak lain ya.”
Aku tidak tahu apa yang sedang aku rasakan. Aku benar-benar dibuat melayang. Hanya air mata yang dapat mewakili segala perasaanku.
“Pak. Sekarang Fikri sudah diwisuda. Lihat Pak, Fikri jadi dokter. Fikri akan tetap jadi dokter. Bahkan bukan hanya sekedar dokter. Fikri akan benar-benar jadi dokter kehidupan.”
Bapak melepas pelukannya. Aku tersenyum. Bapak pun tersenyum…
* * *
0 komentar:
Posting Komentar